SMANSATAPTA BANGKIT : "Andini Crisa Fitri Menggapai Asa Juara di Lomba Menulis Opini Tingkat Pelajar di Media Benuanta Kaltara"
Salimbatu, 8 September 2025 – Prestasi membanggakan kembali diraih oleh salah satu murid SMA Negeri 1 Tanjung Palas Tengah. Andini Crisa Fitri berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan meraih juara dalam Lomba Menulis Opini Tingkat Pelajar yang diselenggarakan oleh Media Benuanta Kalimantan Utara pada tanggal 28 Juli 2025 sampai dengan 21 Agustus 2025. Tema dari Lomba Menulis Opini Tingkat Pelajar adalah : " Menyikapi Teknologi Buatan (AI) di Era Moderen" dan " Bahaya Narkoba dan Seks Bebas".
Dalam ajang bergengsi tersebut, Andini menampilkan tulisan yang kritis, inspiratif, dan penuh gagasan segar mengenai isu pendidikan dan peran generasi muda dalam membangun bangsa. Judul Tulisan Opini : “ Menyikapi AI Dengan Bijak di Era Moderen”. Karya yang ia hasilkan mampu menarik perhatian dewan juri berkat gaya bahasa yang lugas, argumen yang kuat, serta solusi yang ditawarkan.
Kepala SMA Negeri 1 Tanjung Palas Tengah, Eko Purwanto menyampaikan rasa bangga atas capaian ini. “Prestasi Andini membuktikan bahwa murid kita memiliki potensi luar biasa dalam bidang literasi. Semoga keberhasilan ini menjadi motivasi bagi murid lainnya untuk terus berkarya dan mengembangkan kemampuan menulis,” ujarnya.
Andini sendiri mengaku bahwa keberhasilannya tidak lepas dari dukungan guru, teman-teman, serta lingkungan sekolah yang selalu mendorong budaya literasi. “Saya senang sekali bisa membawa nama sekolah di ajang ini. Semoga tulisan saya dapat bermanfaat dan menginspirasi pelajar lainnya,” tutur Andini penuh semangat.
Dengan prestasi ini, SMA Negeri 1 Tanjung Palas Tengah semakin mengukuhkan dirinya sebagai sekolah yang tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga mendukung pengembangan minat dan bakat murid, khususnya di bidang literasi.(ekoborneo)
Sumber: Media Benuanta Kaltara.
Tulisan Opini :
MENYIKAPI AI DENGAN BIJAK DI ERA MODERN
Pernahkah kita membayangkan bahwa kecerdasan buatan (AI), yang dulu hanya dianggap sebagai bayangan teknologi masa depan, kini hadir begitu dekat dalam hidup kita? Hari ini, AI bukan lagi sekadar konsep, melainkan bagian nyata dari keseharian. Dari chatbot yang membantu menemukan jawaban, rekomendasi film dan lagu, asisten digital yang bisa diajak berbicara, hingga algoritma media sosial yang sering kali lebih mengenal diri kita daripada kita sendiri, semua itu menjadi bukti bahwa AI telah benar-benar hadir, bukan esok, tetapi sekarang.
Menurut survei McKinsey Global tahun 2023, sebanyak 79 persen pelaku industri di
Indonesia telah terekspos pada penggunaan AI generatif, sementara secara global 55 persen perusahaan sudah memanfaatkannya untuk mendukung bisnis di sektor kesehatan, manufaktur, dan pendidikan. Fakta ini memperlihatkan bahwa adopsi AI bukan sekadar tren sesaat, melainkan sudah menjadi kebutuhan nyata dalam meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas layanan di berbagai bidang. Bahkan, McKinsey memproyeksikan bahwa teknologi ini berpotensi menyumbang hingga 13 triliun dolar AS terhadap PDB global pada 2030, menegaskan besarnya dampak ekonomi yang bisa dihasilkan.
Potensi besar tersebut tentu juga relevan bagi Indonesia. Pemerintah melalui Kominfo serta Kemendikbudristek mulai merespons dengan mendorong pemanfaatan AI di sektor strategis. Kominfo menyoroti pentingnya adopsi AI di bidang keuangan, transportasi, dan layanan publik, sedangkan Kemendikbudristek bersama UNESCO–ICHEI telah membahas penerapan Generative AI di perguruan tinggi untuk meningkatkan kreativitas, personalisasi pembelajaran, dan literasi digital mahasiswa. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam perkembangan AI global, tetapi mulai mengambil posisi aktif untuk menjadikan AI sebagai mitra dalam pembangunan.
Dalam dunia pendidikan, Jurnal Al-Ishlah menegaskan bahwa penerapan AI mampu mewujudkan personalized learning sesuai kebutuhan tiap peserta didik sekaligus meningkatkan efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan. Namun, kesenjangan akses teknologi antara wilayah perkotaan dan pedesaan masih menjadi tantangan.
Di bidang ekonomi, AI berperan penting dalam mengolah data untuk mempercepat pengambilan keputusan, sehingga perusahaan maupun UMKM lebih adaptif terhadap perubahan pasar. Sementara di sektor kesehatan, AI membantu diagnosis penyakit secara cepat dan akurat, berdampak pada meningkatnya kualitas layanan medis. Meski demikian, penerapannya tetap membutuhkan regulasi bijak agar manfaatnya bisa dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun, setiap kemajuan teknologi selalu memiliki sisi gelap. Kominfo telah memperingatkan bahaya deepfake dan hoaks, sebab AI dapat menciptakan video, foto maupun audio palsu seolah nyata. Penelitian Universitas Kristen Indonesia mencatat bahwa kasus deepfake di Twitter lebih banyak dipengaruhi machine learning (57%) dibanding deep learning (43%). Hal ini menandakan machine learning memiliki kontribusi besar dalam maraknya deepfake. Sementara itu, riset BRIN menemukan literasi digital masyarakat Indonesia, termasuk Generasi X, masih berada pada kategori “sedang” dengan kemampuan rendah dalam mengenali deepfake. Artinya, meski risiko dipahami, banyak orang tetap sulit membedakan konten asli dengan palsu.
Pemerintah telah berupaya mengantisipasi risiko ini. Kominfo menerbitkan Surat Edaran No. 9 Tahun 2023 tentang Etika AI yang menekankan prinsip transparansi, inklusivitas, dan perlindungan data pribadi. Meski begitu, aturan ini masih berupa pedoman, belum menjadi regulasi yang mengikat. Sejumlah pakar pun mendorong hadirnya undang-undang khusus agar perkembangan AI tidak berjalan tanpa kendali.
Kini, perkembangan kecerdasan buatan (AI) di era modern bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membawa potensi besar untuk memajukan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan berbagai sektor lainnya. Namun disisi lain, jika tidak disikapi dengan bijak, AI bisa menjadi ancaman terhadap kemanusiaan itu sendiri. Kita hidup berdampingan dengannya. Yang menarik adalah, bagaimana kita sebenarnya menyikapinya?
Langkah pertama yang paling mendesak adalah membangun literasi AI. Bukan hanya untuk siswa atau mahasiswa, tetapi juga bagi guru, dosen, bahkan orang tua. Sebab, tanpa pemahaman yang cukup, kita hanya akan menjadi pengguna pasif yang terombang-ambing oleh teknologi. Chan & Tsi (2023) menekankan bahwa guru sejatinya memiliki kualitas yang tak tergantikan oleh AI, seperti empati, kreativitas, dan kemampuan membaca konteks sosial. Justru di titik inilah literasi AI menjadi kunci yaitu, agar guru tidak sekadar “mengikuti” arus teknologi, tetapi mampu mengendalikannya dan memanfaatkannya untuk memperkuat peran mereka sebagai pendidik.
Kedua, kita perlu melihat AI sebagai sahabat kerja, bukan pengganti manusia. Teknologi ini memang mampu mempercepat pekerjaan dan membuat segalanya lebih efisien, tapi ia tak bisa menggantikan empati, kreativitas, dan nurani. Dalam bidang kesehatan misalnya, AI bisa menganalisis penyakit dengan cepat, tetapi keputusan terbaik tetap lahir dari dokter yang memahami pasien secara menyeluruh.
Ketiga, aturan dan etika adalah kunci utama dalam menggunakan AI. Tanpa keduanya, teknologi ini bisa berubah jadi bumerang. Bayangkan saja, AI bisa dipakai untuk bikin hoaks, deepfake, atau bahkan mencuri data pribadi. Karena itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas, sementara kita sebagai pengguna juga harus punya kesadaran etis agar AI dipakai untuk kebaikan, bukan merugikan orang lain.
Terakhir, yang tidak kalah penting adalah kesiapan kita untuk terus belajar dan beradaptasi. Teknologi bergerak lebih cepat dari yang kita bayangkan, dan hanya mereka yang mau berproses yang akan mampu bertahan. Karena itu, mari kita membekali diri dengan pengetahuan baru, mengikuti pelatihan, membaca tren terbaru, sekaligus mengasah keterampilan yang tak tergantikan oleh AI, seperti kreativitas, empati, kepemimpinan, dan kemampuan membangun relasi. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi penonton dari perubahan, tetapi juga bagian dari generasi yang mampu memimpin dan memberi arah bagi masa depan.
Dengan demikian, cara terbaik menyikapi AI adalah dengan kebijaksanaan: meraih manfaatnya tanpa lupa pada risikonya. AI bukan musuh, melainkan sahabat yang bisa menuntun kita maju. Namun, hanya manusia yang punya hati dan nurani, hal yang tak tergantikan. Seperti pepatah, “ilmu tanpa budi bagaikan pohon tanpa buah”, begitu pula teknologi tanpa etika hanya akan jadi kosong. Jika kita mampu mengendalikannya dengan kritis dan bijak, AI akan menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih manusiawi dan penuh harapan. (Andini CF)
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini